Bangunan bertingkat dua yang terletak di sudut timur perempatan Tugu Pal Putih itu mudah sekali mencuri perhatian. Bukan hanya karena posisinya yang strategis dan terlihat dari berbagai arah, tetapi juga terutama karena bentuk arsitekturnya yang kuno, klasik, dan istimewa.
Namun, tak hendak membahas soal sejarah maupun sisi teknis bangunannya, sebab tentu butuh riset terlebih dulu, atau setidaknya punya sumber yang memadai. Ada hal lain yang tak kalah mencolok dan menariknya, yakni keberadaan beragam grafiti pada dinding depan bangunan tersebut yang lebih dulu menerbitkan rasa penasaran. Beragam gambar tersebut sepertinya merupakan hasil usaha dari beberapa orang dan pada waktu yang berbeda.
Sayangnya, keberadaaan mural dan grafiti kadang menjadi problematika tersendiri. Bukannya dianggap menambah indah penampakan bangunan, sebagian orang mungkin akan menyayangkan keberadaannya. Sebagian orang bahkan malah menyebutnya sebagai ‘sampah visual’ atau aksi vandalisme.
Sebenarnya, sudah banyak muncul info menarik dari banyak lokasi di berbagai belahan bumi, baik dalam maupun luar negeri, tentang objek visual yang menjadi penambah keindahan fasad bangunan. Karya-karya itu berupa grafiti maupun mural bernilai seni tinggi. Foto-fotonya pun bertebaran luas di dunia maya, mudah dilihat dan dapat dijadikan inspirasi untuk berkarya.
Masalahnya, karya seni seperti ini tentu membutuhkan bakat dan kemampuan yang mencukupi, tak hanya asal semprot cat atau menarik sapuan kuas semaunya. Selain itu, karya yang yang tersaji pun jangan sampai bermasalah bagi pemilik bangunan maupun lingkungan sekitarnya. Menjadi 'pembuat sampah visual' bukanlah julukan yang membanggakan.
Terlepas dari penilaian atas karya, yang akan terbagi atas pro dan kontra tergantung dari point of view-nya, satu hal yang patut menjadi apresiasi bersama adalah upaya keras sang pembuat untuk menempatkan grafitinya. Misalnya, terdapat tulisan yang berada di tembok bagian atas yang cukup tinggi posisinya, dan menimbulkan pemikiran bagaimana cara sang pembuat grafiti untuk sampai di lokasinya.
Menilik kondisi bangunan, sepertinya pembuat grafiti sudah melakukan effort maksimal dengan memanjat tiang lampu PJU, lalu berdiri di atas ‘topi’ jendela lantai dua untuk mewujudkan kreasinya. Entah pada pukul berapa ‘kegiatan’ tersebut dilakukan, tetapi cukup nekat dan butuh keyakinan kuat.
Pesan moralnya, setiap keinginan yang diperjuangkan dengan maksimal dapat membuahkan hasil yang dicita-citakan, (sekali lagi) terlepas dari judging atas ‘karya’ apapun yang dihasilkan. Kadang, hasil itu berada di ranah yang tak terpikirkan oleh orang kebanyakan.
Hari ke-7 #365HariMenulisJogja
Lokasi: Kota Jogja, DIY
Follow Us
FANPAGE